Find Us

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Minggu, 16 Desember 2012

Penolakan Hukuman Mati

Apakabar Blogger mania?? udah lama ne GW ngak nulis... sudah hampir 2 tahun. Lumayan juga ya. Kali ini GW mau nulis masalah "hukuman mati" yang selalu menjadi perdebatan hukum di negara kita Indonesia.
Hukuman mati menjadi wacana pro dan kontra di Indonesia sejak dahulu hingga sekarang. Pro dan kontra tersebut dapat digolongkan ke dalam dua kelmpok besar, yaitu Abolitionist dan Retentionist. Abolitionist merupakan orang-orang yang menentang hukuman mati, sedangkan Retentionist adalah orang-orag yang tetap menghendaki ppenerapan danpelaksanaan hukuman mati.
Sebagai seseoarang yang kontra terhadap hukuman mati berdasarkan data-data yang sudah ada, maka penulis akan memberikan beberapa alasan yang menolak adanya hukuman mati, yaitu sebagai berikut: 
1.      Bertentangan dengan hak dasar manusia untuk hidup
Di Indonesia, hukuman mati bertentangan dengan Konstitusi RI (UUD 1945) pasal 28 huruf i ayat (1) yang berbunyi “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.
Hak untuk hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi (diambil) dalam keadaan apapun dan dengan alasan apapun. Jika negara “dengan sengaja” mengambil hak hidup warganya, termasuk dgn hukuman mati, maka jelas melanggar UUD 1945. Ironisnya, Konstitusi kita sudah melarang hukuman mati, sedangkan UU dibawahnya (KUHP) masih melegalkan hukuman mati.
2.      Penghargaan Terhadap Kehidupan
Penghargaan terhadap kehidupan adalah nilai utama yang berlaku universal. Hidup dan kehidupan adalah anugerah dan karunia yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia, dan hanya Tuhan sendiri yang bisa mengambilnya. Dalam agama, konsep kesucian hidup adalah konsep yang diakui, bahwa hidup manusia adalah suatu hal yang suci dan merupakan anugerah dari Tuhan.
3.      Tidak adanya efek jera
Pelegalan hukuman mati dengan dasar pandangan bahwa hukuman mati itu bisa membuat orang lain menjadi “jera” dan tidak mengulang kejahatan tersebut sudah lama tidak lagi menjadi pandangan utama dalam pemikiran filsafat hukum. Hal ini dikarenakan tidak adanya korelasi antara penjatuhan hukuman mati dengan menurunnya tingkat kriminalitas yang diancam dengan hukuman mati. Dari kenyataan sosiologis, tidak ada pembuktian ilmiah hukuman mati akan mengurangi tindak pidana tertentu. Artinya hukuman mati telah gagal menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera, dibandingakan dengan jenis hukuman lainnya.
4.      Pendidikan dan Pembelajaran
Pandangan yang sekarang ini dianut dalam filsafat hukum adalah suatu hukuman haruslah mempunyai suatu efek pembelajaran, khususnya bagi terdakwa. Seorang terdakwa dihukum agar dirinya dapat belajar dari tingkah lakunya dan tidak akan melakukan kejahatan itu nantinya. Semua orang mempunyai kapasitas untuk belajar dan berubah.
5.      Hilangnya kesempatan berubah
Hukuman mati menutup kemungkinan seseorang untuk berubah. Dengan menjatuhkan hukuman mati, negara langsung memvonis bahwa seorang terhukum pasti tidak akan berubah. Padahal setiap orang mempunyai kemungkinan untuk berubah. Secara unum tujuan pemidanaan dalam pidana Indonesia adalah bukan sebagai sarana balas dendam melainkan untuk memberi pelajaran bagi terpidana agar apabila terpidan selesai menjalani hukuman, di harapkan menjadi anggota masyarakat yang baik, membuktikan kepada masyarakat bahwa dia bisa berubah, bahkan bisa menjadi pola anutan bagi masyarakat sekitarnya. Dan dengan adanya hukuman mati menghapus kesempatan itu semua.
6.      Ketidak sempurnaan Hukum
Fakta sejarah menunjukkan bahwa hukum itu tidak sempurna. Banyak kita lihat, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia, kasus terhukum yang diubah hukumannya setelah mendapat bukti-bukti baru. Misalnya kasus Pakde di tahun 80-an yang saat itu terbukti bersalah membunuh artis Suzana, yang kemudian dibebaskan bertahun-tahun kemudian, karena ada bukti-bukti baru dan terjadinya kesalahan proses peradilan masa itu, yang menunjukkan bahwa Pakde tidak bersalah. Pelaksanaan hukuman mati menyebabkan revisi terhadap fakta ini tidak bisa terjadi, karena sang terhukum sudah terlanjur mati (dan kenyataan ini pernah terjadi di Amerika, di mana ditemukan seseorang ternyata tidak bersalah terhadap suatu kasus, padahal orang tersebut sudah terlanjur dihukum mati). Hal ini menunjukkan bahwa karakter reformasi hukum positif Indonesia masih belum menunjukkan sistem peradilan yang independen, imparsial, dan aparatusnya yang bersih. Bobroknya sistem peradilan bisa memperbesar peluang hukuman mati lahir dari sebuah proses yang salah.
Miftah Faridl, dalam bukunya Pokok-pokok Ajaran Islam mengatakan bahwa bagi penegak hukum dalam negara Islam terdapat prinsip “Lebih baik salah memaafkan dari pada salah menghukum”. Berdasarkan prinsip tersebut menunjukan bahwa Islam sangat berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman, khususnya hukuman mati. Sehingga harus benar-benar mendapatkan keputusan yang kuat baru seorang dapat dieksekusi hukuman mati.

Kamis, 30 Juni 2011

Hadits tentang Wasiat

Kata wasiat itu berasal dari bahasa arab, terambil dari kata was-sha. Artinya menurut ilmu bahasa ialah pesan, petaruh, nasehat, dan sebagainya. Adapun pengartiannya menurut istilah syariah ialah pesan terakhir yang diucapkan dengan lisan atau disampaikan dengan tulisan oleh seseorang yang akan meninggal dunia berkenaan dengan harta benda yang ditinggalkannya.
Selain masalah pembagian harta, wasiatpun terkadang menjadi perdebatang antar ahli waris dari orang yang meninggal dunia. Apakah itu adil? Dia bukan siapa-siapa kita? Dia tidak pernah berjasa untuk kita? Kapan wasiat itu dilakukan? Apakah dia berhak mendapatkanya, bagian kita nanti menjadi kurang?
Untuk menjawab berbagai pertanyaan diatas, mari kita melihat beberapa hadits nabi terkait permasalahan wasiat.
Hadis riwayat Ibnu Umar, ia berkata:
Bahwa Rasulullah bersabda: Tidak baik bagi seorang muslim memiliki sesuatu yang ingin diwasiatkan bermalam dua malam, kecuali wasiatnya itu tertulis di sisinya. (Shahih Muslim No.3074)
Berdasarkan hadits tersebut maka wasiat yang dapat diterima adalah wasiat yang disampaikan secara lisan, dua hari sebelum orang yang berwasiat itu meninggal dunia. Dan jika wasiat itu lebih dari dua hari maka wasiat tersebut harus dibuat secara tertulis. Demikian pula untuk kebaikan bersama kemudian hari sebaiknya pada saat seorang berwasiat dapat disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi yang adil.
Hadis riwayat Sa‘ad bin Abu Waqqash ra., ia berkata:
Pada waktu haji wada, Rasulullah saw. menjengukku karena menderita penyakit yang hampir menyebabkan kematianku. Lalu aku berkata: Wahai Rasulullah, penyakitku sangat parah seperti yang engkau lihat, sedangkan aku adalah seorang hartawan dan tidak ada yang mewarisiku kecuali putriku satu-satunya. Apakah aku bersedekah dengan dua pertiga hartaku? Beliau menjawab: Tidak boleh. Aku bertanya lagi: Dengan setengahnya? Beliau menjawab: Tidak boleh, dengan sepertiga saja. Dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang akan meminta-minta kepada manusia. Dan kamu tidak menafkahkan suatu nafkah pun untuk mencari keredaan Allah, kecuali kamu akan mendapatkan pahala karena nafkahmu itu walaupun sesuap makanan yang kamu masukkan ke mulut istrimu. Ia berkata: Aku bertanya: Wahai Rasulullah, apakah aku akan tetap hidup setelah sahabat-sahabatku (meninggal)? Beliau bersabda: Sesungguhnya kamu tidak diberikan umur panjang lalu kamu mengerjakan suatu amal untuk mengharap keredaan Allah, kecuali kamu akan bertambah derajat dan kemuliaan dengan amal itu. Semoga kamu diberi umur panjang sehingga banyak kaum yang akan mendapatkan manfaat dari kamu, dan kaum yang lain (orang-orang kafir) menderita kerugian karenamu. Ya Allah, sempurnakanlah hijrah sahabat-sahabatku, dan janganlah Engkau kembalikan mereka ke belakang (ke kekufuran). Tetapi orang yang celaka yaitu Sa`ad bin Khaulah berkata: Rasulullah saw. menyayangkannya (Sa‘ad bin Khaulah yang meninggal di Mekah). (Shahih Muslim No. 3076)
Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata:
Semoga orang-orang mau mengurangi sepertiga menjadi seperempat, karena Rasulullah saw. bersabda: Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. (Shahih Muslim No.3080)
Berdasarkan hadits tersebut kadar atau ukuran besarnya sesuatu yang diwasiatkan sebesar-besarnya adalah sepertiga dari harta orang yang berwasiat. Tidak boleh lebih dari itu kecuali apabila diizinkan oleh semua ahli waris yang ada.
Dari Abu Umamah al-Bahili ra., ia menyatakan:
Saya pernah mendengar Rasulullah saw menegaskan dalam khutbahnya pada waktu haji wada’, “Sesungguhnya Allah benar-benar telah memberi setiap orang yang mempunyai hak akan haknya. Oleh karena itu, tak ada wasiat bagi ahli waris. (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2194)
Berdasarkan hadits tersebut wasiat hanya ditujukan atau disampaikan kepada orang yang tidak termasuk ahli waris. Jika diberikan kepada ahli waris maka wasiatnya tidak sah kecuali semua ahli waris yang lebih berhak menerima warisan it ridha dan rela memberikan kepadanya setelah orang yang berwasiat itu meninggal dunia.
Dari Anas ra., ia berkata:
Adalah mereka (para sahabat) biasa menulis di awal wasiatnya, (yang artinya), Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Ini adalah wasita Fulan bin Fulan yang bersaksi bahwa tiada Ilah (yang patut diibadahi) kecuali Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, dan bahwa hari kiamat pasti akan datang tak diragukan sedikitpun, dan bahwa Allah akan membangkitkan segenap penghuni alam kubur dan ia (Fulan bin Fulan) berwasiat kepada seluruh anggota keluarga yang ditinggal mati agar bertakwa kepada Allah, mengadakan ishlah sesama mereka, dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya, jika memang mereka orang-orang yang beriman, dan ia berwasiat kepada mereka sebagaimana wasiat yang Ibrahim sampaikan kepada anak cucunya dan Ya’kub: Wahai Nanda, sesungguhnya Allah telah memilih agama Islam untuk kalian; karena itu, janganlah sekali-kali kalian meninggal dunia kecuali kalian dalam keadaan muslim). (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1647, Daruquthni IV: 154 no: 16 dan Baihaqi VI: 287).
Dari Ali ra., ia berkata:
Rasulullah saw biasa membayar hutang sebelum (dipenuhinya) wasiat; dan kalian (sering) membaca ayat tentang wasiat, minba’di washiyyatin yuushaa bihaa au dain (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya). (Hasan: Shahih Ibnu Majah 2195, Irwa-ul Ghalil 1667, Ibnu Majah II: 906 no: 2715, Tirmidzi III: 294 no: 2205).
Harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia tidak langsung dibagikan kepada ahli waris, tetapi sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). Wasiat tidak akan menjadi hak milik penuh bagi si penerima wasiat, kecuali setelah terlunasinya seluruh hutangnya. Akan tetapi manakala seluruh harta peninggalan orang yang meninggal dunia itu habis untuk dibayarkan pada hutang-hutangnya, maka seorang penerima wasiat tidak mendapatkan bagian apa-apa, karena sudah tidak ada yang tersisa.

Senin, 27 Juni 2011

Hadits tentang Faraid

Sebelum melihat hadis tentang pembagian warisan, kita inggatkan terlebih dahulu beberapa ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang faraid atau waris, diantaranya:
1.      Allah SWT berfirman:
Artinya: "Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh seperdua (dari) harta (yang ditinggalkannya). Dan untuk dua orang ibu-bapak bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (Q.S. an-Nisaa': 11)
2.      Allah SWT berfirman:
Artinya: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun". (Q.S. an-Nisaa': 12)
3.      Allah SWT berfirman:
Artinya: "Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meningal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (Q.S. an-Nisaa': 176)
Adapun hadits yang menerangkan tentang Faraid atau hukum pembagian harta warisan, diantaranya:
1.      Hadis riwayat Ibnu Abbas ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Berikanlah jatah warisan yang telah ditentukan itu kepada pemiliknya. Adapun sisanya, maka bagi pewaris laki yang paling dekat nasabnya. (Shahih Muslim No.3028)
2.      Hadis riwayat Usamah bin Zaid ra.:
Bahwa Nabi saw. bersabda: Orang muslim tidak dapat mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak dapat mewarisi orang muslim. (Shahih Muslim No.3027)
3.      Hadis riwayat Jabir bin Abdullah ra., ia berkata:
Aku sakit, lalu Rasulullah saw. dan Abu Bakar datang menjengukku dengan berjalan kaki. Kemudian aku pingsan, maka beliau berwudu lalu menuangkan (memercikkan) air wudunya kepadaku sehingga aku pun siuman. Kemudian aku bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana aku membagikan harta warisanku? Beliau tidak menjawab apa pun hingga turunlah ayat pewarisan yang berbunyi: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah. (Shahih Muslim No.3031)
4.      Hadis riwayat Barra` ra., ia berkata:
Ayat Alquran yang terakhir diturunkan adalah: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah. (Shahih Muslim No.3036)
5.      Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Bahwa Rasulullah saw. pernah didatangkan seorang mayit lelaki yang menanggung utang lalu beliau bertanya apakah ia meninggalkan harta untuk melunasi utangnya? Kalau beliau diberitahu bahwa mayit tersebut meninggalkan sesuatu untuk melunasi utangnya, maka beliau menyalatkannya. Dan jika tidak, beliau bersabda: Salatkanlah temanmu itu! Ketika Allah memberikan kemenangan kepadanya berupa penaklukan beberapa negeri, beliau bersabda: Aku lebih berhak atas orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri. Maka barang siapa meninggal sedang ia mempunyai utang, maka akulah yang melunasinya. Barang siapa meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya. (Shahih Muslim No.3040)

Sabtu, 18 Juni 2011

Urf

Pengertian



Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh, Urf adalah sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka menjadikan tradisi. Dengan kata lain Urf merupakan sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, Urf disebut adat (adat kebiasaan).
Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan antara 'urf dengan adat (adat kebiasaan), namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian 'urf lebih umum dibandingkan dengan pengertian adat, karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.
Seperti dalam salam (jual beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual beli. Menurut syarat jual beli ialah pada saat jual beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang yang dibeli dan pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang pada salam barang yang akan dibeli itu belum ada wujudnya pada saat akad jual beli dilakukan, baru ada dalam bentuk gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual beli, maka salam itu dibolehkan. Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada persamaan antara ijma' dengan 'urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya ialah pada ijma' ada suatu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para mujtahid membahas dan menyatakan kepadanya, kemudian ternyata pendapatnya sama. Sedang pada 'urf bahwa telah terjadi suatu peristiwa atau kejadian, kemudian seseorang atau beberapa anggota masyarakat sependapat dan melaksanakannya. Hal ini dipandang baik pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalu mereka mengerjakan pula. Lama-kelamaan mereka terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan hukum tidak tertulis yang telah berlaku diantara mereka. Pada ijma' masyarakat melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid telah menyepakatinya, sedang pada 'urf, masyarakat mengerjakannya karena mereka telah biasa mengerjakannya dan memandangnya baik.
Kehujjahan Urf
            Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan. Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbuatan penduduk Madinah. Berarti, beliau menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’.
            Imam Safi’i terkenal dengan Qoul qadim dan Qoul jadidnya, karena melihat pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan Mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima, hal itu jelas karena bertentangan dengan syara’ nash maupun ketentuan umum nash
Pembagian Urf
1.      Ditinjau dari bentuknya (sifatnya) ada dua macam:
a.       Al Urf al Qauliyah ('Urf qauli), ialah 'urf yang berupa perkataan' seperti perkataan walad, menurut bahasa berarti anak, termasuk di dalamnya anak laki-laki dan anak perempuan. Tetapi dalam percakapan sehari-hari biasa diartikan dengan anak laki-laki saja. Lahmun, menurut bahasa berarti daging termasuk di dalamnya segala macam daging, seperti daging binatang darat dan ikan. Tetapi dalam percakapan sehari-hari hanya berarti binatang darat saja, tidak termasuk di dalamnya daging binatang air (ikan).
b.      Al Urf al Fi’ly (‘Urf amali), ialah 'urf yang berupa perbuatan. Seperti jual beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan shighat akad jual beli. Padahal menurut syara', shighat jual beli itu merupakan salah satu rukun jual beli. Tetapi karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat melakukan jual beli tanpa shighat jual beli dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka syara' membolehkannya.
2.      Ditinjau dari segi nilainya (diterima atau tidaknya), ada dua macam:
a.       Al Urf as Shahih (‘Urf shahih), ialah 'urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara'. Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah, dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara'. (‘urf yang baik dan dapat diterima, karena tidak bertentangan dengan nash dan hukum syara’).
b.      Al Urf al Fasid (‘Urf fasid), ialah 'urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara'. Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam. (‘urf yang tidak dapat diteima, karena bertentangan dengan hukum syara’).
3.      Ditinjau dari luas berlakunya, ada dua macam:
a.       Al Urf Am (‘Urf 'âm), ialah Ialah 'urf yang berlaku pada suatu tempat, masa dan keadaan, seperti memberi hadiah (tip) kepada orang yang telah memberikan jasanya kepada kita, mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantu kita dan sebagainya. (‘urf yang berlaku untuk seluruh tempat sejak dahulu hingga sekarang).
b.      Al Urf al Khas (‘Urf khash), Ialah 'urf yang hanya berlaku pada tempat, masa atau keadaan tertentu saja. Seperti mengadakan halal bi halal yang biasa dilakukan oleh bangsa Indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai menunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan, sedang pada negara-negara Islam lain tidak dibiasakan. (‘urf yang yang berlaku hanya dikenal pada suatu tempat saja, urf adalah kebiasaan masyarakat tetentu).
Syarat-syarat Urf dapat diterima oleh hukum Islam
1.      Tidak ada dalil yang khusus untuk suatu masalah baik dalam al Qur’an atau as Sunnah.
2.      Pemakaian tidak mengakibatkan dikesampingkanya nash syari’at termasuk juga tidak mengakibatkan masadat, kesulitan atau kesempitan.
3.      Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang saja.

Qiyas

          Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur. Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.
            Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.
Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. Al-Maidah: 90)
Haramnya meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah haram.
            Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
  1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shabat maupun ijma’ ulama.
  2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
  3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.
Dasar Hukum Qiyas
            Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum  qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.
            Diantara ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah: 
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Q.S. Al-Hasyr: 2)
            Dari ayat di atas bahwasanya Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil pelajaran’, kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi (hukum) yang diperintahkan. Hal yang diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi “i’tibar dan qiya”’ memiliki pengertian melewati dan melampaui.
 “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. An-Nisaa’: 59)
            Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.
Macam-Macam Qiyas
A.    Qiyas 'illat
            Qiyas 'illat, ialah qiyas yang mempersamakan ashal dengan fara' karena keduanya mempunyai persamaan 'illat. Qiyas 'illat terbagi:
1.      Qiyas jali
Ialah qiyas yang 'illatnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada kemungkinan lain selain dari 'illat yang ditunjukkan oleh dalil itu. Qiyas jali terbagi kepada:
a.       Qiyas yang 'illatnya ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan adalah 'illat larangan minum khamr, yang disebut dengan jelas dalam nash.
b.      Qiyas mulawi.
Ialah qiyas yang hukum pada fara' sebenarnya lebih utama ditetapkan dibanding dengan hukum pada ashal. Seperti haramnya hukum mengucapkan kata-kata "ah" kepada kedua orangtua berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya: "Maka janganlah ucapkan kata-kata "ah" kepada kedua orangtua(mu)." (Q.S. al-Isra': 23)
'Illatnya ialah menyakiti hati kedua orangtua. Bagaimana hukum memukul orang tua? Dari kedua peristiwa nyatalah bahwa hati orang tua lebih sakit bila dipukul anaknya dibanding dengan ucapan "ah" yang diucapkan anaknya kepadanya. Karena itu sebenarnya hukum yang ditetapkan bagi fara' lebih utama dibanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashal.
c.       Qiyas musawi
Ialah qiyas hukum yang ditetapkan pada fara' sebanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashal, seperti menjual harta anak yatim diqiyaskan kepada memakan harta anak yatim. 'Illatnya ialah sama-sama menghabiskan harta anak yatim. Memakan harta anak yatim haram hukumnya berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya:
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, ia tidak lain hanyalah menelan api neraka ke dalam perutnya." (Q.S. an-Nisa': 10)
Karena itu ditetapkan pulalah haram hukumnya menjual harta anak yatim. Dari kedua peristiwa ini nampak bahwa hukum yang ditetapkan pada ashal sama pantasnya dengan hukum yang ditetapkan pada fara'.
2.      Qiyas khafi
            Ialah qiyas yang 'illatnya mungkin dijadikan 'illat dan mungkin pula tidak dijadikan 'illat, seperti mengqiyaskan sisa minuman burung kepada sisa minuman binatang buas. ‘Illatnya ialah kedua binatang itu sama-sama minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya bercampur dengan sisa minumannya itu. 'Illat ini mungkin dapat digunakan untuk sisa burung buas dan mungkin pula tidak, karena mulut burung buas berbeda dengan mulut binatang buas. Mulut burung buas terdiri dari tulang atau zat tanduk. Tulang atau zat tanduk adalah suci, sedang mulut binatang buas adalah daging, daging binatang buas adalah haram, namun kedua-duanya adalah mulut, dan sisa minuman. Yang tersembunyi di sini ialah keadaan mulut burung buas yang berupa tulang atau zat tanduk.
B.     Qiyas dalalah
      Qiyas dalalah ialah qiyas yang 'illatnya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan adanya 'illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa. Seperti harta anak-anak yang belum baligh, apakah wajib ditunaikan zakatnya atau tidak. Para ulama yang menetapkannya wajib mengqiyaskannya kepada harta orang yang telah baligh, karena ada petunjuk yang menyatakan 'illatnya, yaitu kedua harta itu sama-sama dapat bertambah atau berkembang. Tetapi Madzhab Hanafi, tidak mengqiyaskannya kepada orang yang telah baligh, tetapi kepada ibadah, seperti shalat, puasa dan sebagainya. Ibadah hanya diwajibkan kepada orang yang mukallaf, termasuk di dalamnya orang yang telah baligh, tetapi tidak diwajibkan kepada anak kecil (orang yang belum baligh). Karena itu anak kecil tidak wajib menunaikan zakat hartanya yang telah memenuhi syarat-syarat zakat.
C.    Qiyas syibih
      Qiyas syibih ialah qiyas yang fara' dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi diambil ashal yang lebih banyak persamaannya dengan fara'. Seperti hukum merusak budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak orang merdeka, karena kedua-duanya adalah manusia. Tetapi dapat pula diqiyaskan kepada harta benda, karena sama-sama merupakan hak milik. Dalam hal ini budak diqiyaskan kepada harta benda karena lebih banyak persamaannya dibanding dengan diqiyaskan kepada orang merdeka. Sebagaimana harta budak dapat diperjualbelikan, diberikan kepada orang lain, diwariskan, diwakafkan dan sebagainya.
Rukun Qiyas
a.       Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi.
b.      Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs.
c.       Hukum al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam nash dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’.
d.      Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More