Apakabar Blogger mania?? udah lama ne GW ngak
nulis... sudah hampir 2 tahun. Lumayan juga ya. Kali ini GW mau nulis masalah
"hukuman mati" yang selalu menjadi perdebatan hukum di negara kita
Indonesia.
Hukuman mati menjadi wacana pro dan kontra di
Indonesia sejak dahulu hingga sekarang. Pro dan kontra tersebut dapat
digolongkan ke dalam dua kelmpok besar, yaitu Abolitionist dan Retentionist.
Abolitionist merupakan orang-orang yang menentang hukuman mati, sedangkan
Retentionist adalah orang-orag yang tetap menghendaki ppenerapan danpelaksanaan
hukuman mati.
Sebagai
seseoarang yang kontra terhadap hukuman mati berdasarkan data-data yang sudah
ada, maka penulis akan memberikan beberapa alasan yang menolak adanya hukuman
mati, yaitu sebagai berikut:
1.
Bertentangan dengan hak dasar
manusia untuk hidup
Di
Indonesia, hukuman mati bertentangan dengan Konstitusi RI (UUD 1945) pasal 28
huruf i ayat (1) yang berbunyi “Hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.
Hak untuk
hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi (diambil) dalam keadaan apapun dan
dengan alasan apapun. Jika negara “dengan sengaja” mengambil hak hidup
warganya, termasuk dgn hukuman mati, maka jelas melanggar UUD 1945. Ironisnya,
Konstitusi kita sudah melarang hukuman mati, sedangkan UU dibawahnya (KUHP)
masih melegalkan hukuman mati.
2.
Penghargaan
Terhadap Kehidupan
Penghargaan terhadap kehidupan adalah nilai utama yang berlaku universal.
Hidup dan kehidupan adalah anugerah dan karunia yang diberikan oleh Tuhan kepada
manusia, dan hanya Tuhan sendiri yang bisa mengambilnya. Dalam agama, konsep
kesucian hidup adalah konsep yang diakui, bahwa hidup manusia adalah suatu hal
yang suci dan merupakan anugerah dari Tuhan.
3.
Tidak
adanya efek jera
Pelegalan hukuman mati dengan dasar pandangan bahwa hukuman mati itu bisa
membuat orang lain menjadi “jera” dan
tidak mengulang kejahatan tersebut sudah lama tidak lagi menjadi pandangan
utama dalam pemikiran filsafat hukum. Hal ini dikarenakan tidak adanya korelasi
antara penjatuhan hukuman mati dengan menurunnya tingkat kriminalitas yang
diancam dengan hukuman mati. Dari kenyataan sosiologis, tidak ada pembuktian
ilmiah hukuman mati akan mengurangi tindak pidana tertentu. Artinya hukuman
mati telah gagal menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera,
dibandingakan dengan jenis hukuman lainnya.
4.
Pendidikan
dan Pembelajaran
Pandangan yang sekarang ini dianut dalam filsafat hukum adalah suatu hukuman haruslah
mempunyai suatu efek pembelajaran, khususnya bagi terdakwa. Seorang terdakwa
dihukum agar dirinya dapat belajar dari tingkah lakunya dan tidak akan
melakukan kejahatan itu nantinya. Semua orang mempunyai kapasitas untuk belajar
dan berubah.
5.
Hilangnya kesempatan berubah
Hukuman mati menutup kemungkinan seseorang untuk berubah. Dengan
menjatuhkan hukuman mati, negara langsung memvonis bahwa seorang terhukum pasti
tidak akan berubah. Padahal setiap orang mempunyai kemungkinan untuk berubah.
Secara unum tujuan pemidanaan dalam pidana Indonesia adalah bukan sebagai
sarana balas dendam melainkan untuk memberi pelajaran bagi terpidana agar
apabila terpidan selesai menjalani hukuman, di harapkan menjadi anggota
masyarakat yang baik, membuktikan kepada masyarakat bahwa dia bisa berubah,
bahkan bisa menjadi pola anutan bagi masyarakat sekitarnya. Dan dengan adanya
hukuman mati menghapus kesempatan itu semua.
6.
Ketidak
sempurnaan Hukum
Fakta sejarah menunjukkan bahwa hukum itu tidak sempurna. Banyak kita
lihat, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia, kasus terhukum yang diubah
hukumannya setelah mendapat bukti-bukti baru. Misalnya kasus Pakde di tahun
80-an yang saat itu terbukti bersalah membunuh artis Suzana, yang kemudian
dibebaskan bertahun-tahun kemudian, karena ada bukti-bukti baru dan terjadinya
kesalahan proses peradilan masa itu, yang menunjukkan bahwa Pakde tidak
bersalah. Pelaksanaan hukuman mati menyebabkan revisi terhadap fakta ini tidak
bisa terjadi, karena sang terhukum sudah terlanjur mati (dan kenyataan ini
pernah terjadi di Amerika, di mana ditemukan seseorang ternyata tidak bersalah
terhadap suatu kasus, padahal orang tersebut sudah terlanjur dihukum mati). Hal
ini menunjukkan bahwa karakter reformasi hukum positif Indonesia masih belum
menunjukkan sistem peradilan yang independen, imparsial, dan aparatusnya yang
bersih. Bobroknya sistem peradilan bisa memperbesar peluang hukuman mati lahir
dari sebuah proses yang salah.
Miftah Faridl, dalam bukunya Pokok-pokok Ajaran Islam mengatakan
bahwa bagi penegak hukum dalam negara Islam terdapat prinsip “Lebih baik salah
memaafkan dari pada salah menghukum”. Berdasarkan prinsip tersebut menunjukan
bahwa Islam sangat berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman, khususnya hukuman
mati. Sehingga harus benar-benar mendapatkan keputusan yang kuat baru seorang
dapat dieksekusi hukuman mati.