Find Us

Rabu, 30 Maret 2011

Al-Quran dan Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam







A.    Pengertian Sumber Hukum Islam
Sumber hukum islam sering disebut dengan istilah dalil-dalil syara’. Dalil-dalil hukum (adilat al syariah) merupakan teks-teks hukum yang digunakan sebagai landasan ditetapkannya suatu ketentuan hukum. Ahli ushul fiqih menjelaskan “sumber hukum islam” mengunakan istilah dalil syar’iyyah (al-adilah al-syar’iyyah). Penguna istilah masadirr al-ahkam oleh ulama sekarang di maksudkannya adalah searti dengan istilah al-adilah al-syar’iyyah.
Abdur Rahman membuat klasifikasi atas aturan-aturan yang terkait dengan hukum kedalam empat bagian besar yaitu: a) The concise injunctions atau peritah-perintah Allah yang tertulis didalam al-Qur’an namun tidak ditemui penjelasan tentang tata cara pelaksanaan atas perintah tersebut. b) The concise and the detailed injunctions atau peritah-perintah Allah yang secara jelas tertulis dalm al-Qur’an, dan penjelasan-penjelasan atas ayat-ayat tersebut bisa didapati dari hadis atau sumber hukum islam lainnya. c) The detailed injunctions yaitu dimana al-Qur’an telah memberikan penjelasan yang detail berkaiatan dengan satu peritah Allah SWT, dan tidak diperlukan adanya lagi suatu penjelasan tambahan. d) Fundamental principles of Guidance, prisip-prinsip ini tidak memiliki penjelasan yang terpernci dan pasti, sehimgga untuk menentukan hukum atas hal-hal tersebut perlu diambil melalui suatu proses yang dinamakan ijtihad.
B.     Studi Al-Qur’an
Secara terminologis, al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, tertulis dalam mushaf dan sampai kepada manusia secara mutawatir dan membacanya merupakan suatu ibadah.
1.      Ciri-Ciri Al-Qur’an:
  1. Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab.
  2. Al-Quran merupakan kala Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
  3. Al-Qur’an itu dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir (dituturkan oleh orang banyak kepada orang banyak sampai sekarang, mereka itu tidak mungkin sepakat untuk berdusta).
  4. Membaca setiap kata dalam al-Qur’an itu mendapat pahala dari Allah, baik bacaan      itu dari hafalan sendiri maupun dibaca langsung dari mushaf al-Qur’an.
2.      Pokok-Pokok Kandungan AlQur’an:
a.       Masalah kepercayaan (i’tiqadiyah), yang berhubungan dengan rukun iman.
b.      Masalah etika (khuluqiyah) berkaitan dengan hal-hal yang dijadikan perhiasan bagi seseorang untuk berbuat keutamaan dan meniggalkan kehinaan.
c.       Masalah perbuatan dan ucapan (amaliyah) yang terbagi kedalam dua macam, yakni pertama, masalah ibadah, yang berkaitan dengan rukun islam, nadzar, sumpah dan ibadah-ibadah kain yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah SWT. Kedua, masalah muamalah, seperti akad, pembelanjaan, jinayat dan sebagainya yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain, baik perorangan ataupun kelompok.
3.      Fungsi-Fungsi al-Qur’an:
  1. Sebagai petunjuk. (QS. Adz-dzariyat,51:56)
  2. Sebagai sumber ajaran islam. (QS. Al-An’am,6:38 dan an-Nahl, 16:89)
  3. Sebagai peringatan dan penyejuk. (QS. Al-qashas,28-77 dan al-Isra’ 17:82)
  4. Pemisah antara yang hak dan yang batil, atau antara yang benar dan yang salah.
4.      Wilayah Kajian al-Qur’an
Topik-topik bahasan ilmu al-Qur’an mencakup:
a.       Sejarah ilmu al-Qur’an.
b.      Ilmu tentang latar belakang turunnya ayat-ayat.
c.       Ilmu makki wa al-madani, yakni ilmu yanng menerangkan makna al-Qur’anyang turun di makkah dan mana yang turun dimadinah.
d.      Sekitar kalimat yang dipakainuntuk pembukaan surat (fawatihu al-suwar).
e.       Ilmu cara-cara membaca al-Qur’an (ilmu qira’at).
f.       Ilmu yang menerangkan ayat-ayat penghapus hukum dan ayat-ayat yang dihapus hukumnya (ilmu nasikh wa al-mansukh).
g.      Tentang ilmu cara-cara menulis lafaz-lafaz al-Qur’an  ( ilmu rasmi al-Qur’an).
h.      Ilmu yang menerangkan ayat-ayat muhkam & mutasyabih.
i.        Ilmu perumpamaan yang digunakan al-Qur’an.
j.        Ilmu tentang sumpah dalam al-Qur’an.
k.      Ilmu tentang kisah-kisah yang ada dalam al-Qur’an.
l.        Ilmu jadal al-Qur’an.
m.    Ilmu tafsir.
n.      Metode yang diperlukan mufassir.
o.      Ilmu tentang kemu’jizatan dalam al-Qur’an.
5.      Jenis-Jenis Tafsir
Berikut digambarkan potret tafsir sepanjang sejarah:
1.      Tafsir Tahlili
Dapat disebut model kajian yang digunakan dalam mengkaji al-Qur’an sebagai sumber ajaran islam. Maksudnya adalah metode kajian al-Qur’an dengan menganalisis secara kronologis dan memaparkan berbagai aspek yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan urutan bacaan yang terdapat dalam urutan mushaf uthamani.
Tafsir tahlili oleh al-Farmawi dikelompokkan menjadi tujuh jenis tafsir, yakni:
  1. Al-Tafsir bi al-Mathur (riwayat)
Menafsirkan nas dengan nas, baik al-Qur’an dengan al-Qur’an maupun al-Qur’an dengan sunnah nabi Muhammad saw (hadis).
  1. Al-Tafsir bi al-Ra’y
Tafsir dengan menekankan ijtihad dan menggunakan akal sebagai pokok dalam menfsirkan.
  1. Al-Tafsir al-Sufi a Al-Tafsir al-Sufi atau tafsir isyari (isyarah)
Tafsir dengan menekankan pada aspek dan dari sudut esoterik atau isyarat-isyarat yang tersirat dari ayat oleh para ahli tasauf.
  1. Al-Tafsir fiqhi
Tafsir yang menekankan pada tinjauan hukum dari ayat yang ditafsirkan.
  1. Al-Tafsir al-Falsafi
Menafsirkan ayat al-Qur’an dengan pendekatan filsafat, baik yang berusaha melakukan sintesis dan siskretisasi antara teori-teori filsafat dengan  ayat-ayat al-Qur’an maupun yang berusaha menolak teori-teori filsafat yang dianggap bertentangan denagn al-Qur’an.
  1. Al-Tafsir al-Ilmi
Menfsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan dengan menggunakan pendekatan ilmiah, atau menggali kandungannya dengan menggunakan teori-teori ilmu pengetahuan.
  1. Al-Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i
Tafsir yang menekankan pada analisis redaksi ayat dan dihubungkan dengan hukum yang berlaku dalam masyarakat.
2.      Tafsir Muqaran
Maksud tafsir muqaran (perbandingan) adalah metode penafsiran terhadap ayat al-Qur’an yang berbicara satu masalah denagn cara membandingkan antara ayat dengan ayat dan antara ayat dengan sunnah Nabi Muhammad SAW., baik dari segi isi maupun redaksi atau antara pendapat ulama tafsir denagn menonjolkan segi-segi perbedaan dari obyek yang dibandingkan.
3.      Tafsir Ijmali (global)
Tafsir Ijmali adalah metode tafsir dengan cara menafsirkan secara singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar.
4.      Tafsir Maudu’i (tematik)
Adapun tafsir tematik berdasar surah al-Qur’an, yarkashi (745-794/1344-1392), dengan karyanya al-Burhan, misalnya adalah salah satu contoh yang paling awal menekankan pentingnya tafsir bahasan surah demi surah. Dalam sejarah,tafsir tematik secara umum dapat dibagi menjadi dua, yakni: 1) tematik berdasarkan subyek (masalah bunga bang atau riba), dan 2) tematik berdasar surat al-Qur’an.
5.      Tafsir Kulli (holistik)
Adapun metode holistik secara prinsip tidak terlalu berbeda dengan metode tematik berdasarkan subjek. Metode tematik maupun holistik sama-sama menekankan pada pentingnya pemahaman al-Qur’an dengan metode silang (cross-referential) atau metode induktif (al-manhaj al-istiqra’i).
6.      Kombinasi Tematik dan Holistik
Keduanya sama-sama menekankan pentingnya memehami al-Qur’an secara menyeluruh ketika membahas satu masalah (satu tema). Maksudnya adalah mendiskusikan satu masalah tertentu, misalnya perkawinan sebagai kajian dalam tulisan ini secara tematik, harus dipantulkan dengan nilai universal  al-Qur’an . Metode ini disebut dengan metode induktif, dalam arti setiap masalah tertentu harus dibahas secara menyeluruh dari seluruh nas lengkap dengan pengetahuan latar belakang ( sabab an nuzul dan warud ).
Pengunaan metode tematik adalah untuk menemukan nilai dasar dari masing-masing tema/subjek. Sementara metode holistik untuk menemukan nilai dasar antar subjek, yang pada gilirannya menyatukan nilai dasar antar subyek menjadi satu kesatuan yang utuh dan menyatu.
C.     Studi Hadist (al-Sunah)
Hadist secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam  terminologi islam, hadist adalah perbuatan, perkataan, dan taqrir (ketatapan/persetujuan) Nabi Muhammad SAW. Hadis sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum dibawah al-Qur’an.Namun pada saat ini kata hadits mengalami perluasan makna, sehingga disinonimkan dengan sunnah, maka bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum. Kata hadits itu sendiri adalah bukan kata infinitif, maka kata tersebut adalah kata benda.
Ilmu untuk mengetahui istilah-istilah yang dipakai dalam ilmu hadist disebut mustalah hadist. Kegunaannya adalah untuk menilai tentang sebuah hadist itu shahih (benar) atau palsu dan untuk mengetahui tingkatan hadist itu. Istilah-istilah yang perlu diketahui berkaitan dengan proses penyampaian sebuah hadist adalah sebagai berikut:
a.       Mantan, yaitu perkataan (isi) hadist yang disampaikan.
b.      Rawi (perawi) yaitu orang yang meriwayatkan hadist.
c.       Sanad, yaitu orang-orang yang menjadi sandaran dalam meriwayatkan hadist dengan kata lain sanad adalah orang-orang yang menjadi perantara dengan nabi Muhammad saw sampai kepada perawi.
1.      Kedudukan dan Fungsi Hadist
Hadist nabi Muhammad saw dapat dibedakan menjadi 3 bentuk yaitu sebagai berikut:
  1. Hadist qauliyah yaitu hadist atas dasar segenap perkataan (ucapan) Nabi Muhammad SAW.
  2. Hadist fi’liyah yaitu hadist atas dasar perilaku (perbuatan) yang dilakukan Nabi Muhammad SAW.
  3. Hadist Taqririyah adalah hadist atas dasar persetujuan nabi Muhammad saw terhadap apa yang dilakukan oleh para sahabatnya artinya Nabi Muhammad SAW memberikan penafsiran atau perbuatan yang dilakukan sahabatnya dalam suatu hukum Allah SWT atau Nabi diam sebagai tanda persetujuan (boleh) atas perbuatan-perbuatan sahabat Nabi Muhammad SAW.
Adapun kedudukan atau fungsi hadist Nabi Muhammad SAW dalam hukum Islam adalah sebagi berikut:
  1. Sebagai sumber hukum Islam yang kedua. Ada beberapa hukum yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an. Rasulullah SAW, kemudian menjelaskan hukumnya baik dengan perkataan, perbuatan maupun dengan penetapan. Dalil hukumnya menjadi sunnah karena apa yang dilakukan Rasulullah itu tidak lain penjabaran dari prinsip-prinsip yang sudah ada dalam Al-Qur’an. Firman Allah SWT sebagai berikut: “….Apa yang diberikan rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang di larangnya bagimu maka tinggalkanlah…” (QS. Al Hasyr: 7). “ Sesungguhnya telah ada pula diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik” (QS. Al Ahzab: 21). “Katakanlah: taatilah Allah dan RasulNya, jika kamu berpaling maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir” (QS Ali Imran :32). “ Barangsiapa yang mentaati rasul itu sesungguhnya ia telah mentaati Allah dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemeliharaan bagi mereka” (QS An Nisa:80).
  2. Sebagai penguat dan pengukuh hukum yang telah disebutkan Allah didalam kitabnya, sehingga keduanya yaitu Al-Qur’an dan hadist menjadi sumber hukum yang saling melengkapi dan menyempurnakan.
  3. Sebagai bayan takhsis, yaitu penjelas atau perincian terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat umum. Seperti, perintah shalat didapati dalam Al-Qur’an, tetapi tidak di jelaskan tentang cara melaksanakannya, banyak rakaatnya, serta rukun dan syarat-syaratnya, Rasulullah SAW melalui hadist menjelaskan semua itu sehingga umatnya tidak menajalani kesulitan untuk melaksanakan perintah tersebut. Demikian pula halnya dengan perintah puasa dan haji yang telah terdapat  di dalam Al-Qur’an tetapi tidak dijelaskan tentang pelaksanaannya secara terperinci, Rasulullah kemudian menjelaskan dengan perbuatannya melalui praktek (tata krama) atau secara normatif dalam menjalanakan perintah Allah SWT tersebut, Firman Allah SWT: “.. Dan kami turunkan Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkankepada merekan…” (QS An-Nahl: 44).
  4. Menetapkan hukum-hukum tidak terdapat dalam Al-Qur’an, hadist juga dapat berfungsi untuk menetapkan hukum apa bila di dalam Al-Qur’an tidak dijumpai seperti halnya keharaman seorang laki-laki untuk menikah dengan bibi istrinya dalam waktu yang bersamaan. Perhatikan terjemahan hadist berikut ini:“ Dilarang seseorang mengumpulkan (mengawini secara bersama) seorang perempuan saudaranya perempuan dari ayahnya serta seorang perempuan dengan saudara perempuan dari ibunya” (HR. Bukhori-Muslim).
  5. Sebagai bayan tafshil, keterangan yang menjelaskan ayat–ayat mujmal.
  6. Hadis kadang dijadikan dalil nasakh mansukh yaitu menentukan mana ayat yang dimaksud dari ayat-ayat yang kelihatannya berlawanan.
  7. Memberi pengecualian pada  pernyataan al-Qur’an yang bersifat umum.
Hadist merupakan sumber hukum ke dua setelah Al-Qur’an hal ini bukan berarti bahwa nabi Muhammad saw, sebagai penetap hukum atau memiliki kapasitas sebagai pembuat hukum melainkan Allah SWT. sendiri yang memberikan keputusan melalui perantara yakni rasul-Nya.
2.      Wilayah Kajian Hadist (al-Sunah)
Topik-topik bahasan al-Sunah mencakup:
a.       Tentang pengertian hadis, sunah, khabar, athar , dan hadis kudsi.
b.      Sejarah dan perkembangan pembukuan hadis, mulai dari periode pertama(masa nabi) sampai sekarang.
c.       Berbicara tentang  macam-macam kitab hadis dan derajatnya.
d.      Tentang cabang-cabang ilmu hadis.
e.       Ilmu mustolah hadis.
3.      Metode Memahami Hadist (al-Sunah)
Metode yang ditawarkan dan populer dikalangan pemerhati hadis, yakni teori kritik matan (takhrij al-matan). Menurut teori kritik matan, cara mengukur keabsahan hadis adalah berdasarkan pada kriteria-kriteria tertentu.
Diantara konsep kritik matan ini adalah konsep Muhammad al-Ghazali  yang membuat tiga kriteria:
  1. Tidak bertentangan dengan al-Qur’an;
  2. Sejalan dengan kebenaran ilmiah; dan
  3. Sejalan dengan faktor sejarah.berdasarkan teori ini, hadis yang sanadnya sahih dapat ditolak dengan alasan kandungan isinya bertentangan dengan tiga kriteria tersebut.
Untuk memahami substansi ajaran yang ada dalam hadis dilakukan dengan jalan memahami konteksnya.
Sedangkan menurut Fazlur Rohman, bahwa untuk menemukan subtansi dalam hadis dillakukan dengan cara memahami konteks yang melatarbelakanginya. Konsep disini ada dua yaitu:
  1. Konteks mikro berupa sebab munculnya hadis (asbab al-wurud); dan
  2. Konteks makro berupa sejarah masyarakat Arab sebagai obyek wahyu, baik pra islam maupun di masa pewahyuan.

Sumber Bacaan:
Munajat, Makhrus, Drs. 2008. Studi Islam Di Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Pesuntren Nawesea Press.
Nasution, Khoirudin, Prof. Dr. MA. 2007.Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More