BAB II
PEMBAHASAN
A. Penagakan Hukum
Hukum merupakan sarana yang didalamnya terkandung nilain-nilai atau konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan sosial dan sebagainya. Sedangkan Bellefroid mengemukakan bahwa hukum adalah segala aturan yang berlaku dalam masyarakat, mengatur tata tertib masyarakat dan didasarkan atas kekuasaan yang ada dalam masyarakat itu.[4] Kandungan hukum ini bersifat abstrak. Menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum pada hakekatnya merupakan penagakan ide-ide atau konsep-konsep yang abstak itu. Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide tesebut menjadi kenyataan. Soerjono Soekanto mengatakan bahwa penagakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidaha-kaidah atau pandangan-pandangan nilai yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Penegakan hukum secara konkrit adalah berlakunya hukum positif dalam praktek sebagaimana seharusnya patut ditaati.[5]
Jika hakekat penagakan hukum itu mewujudkan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan hanya menjadi tugas dari para penegak hukum yang sudah dikenal secara konvensional, tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal. Oleh karena itu, keberhasilan penegakan hukum akan dipengaruhi oleh hal-hal tersebut. Secara umum, sebagaimana yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto, ada lima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu:
a. faktor hukumnya sendiri
b. faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang memebentuk maupun yang menerapkan hukaum
c. faktor sarana dsan fasilitas yang mendukung penegakan hukum
d. faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum itu berlaku dan diterapkan
e. faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan dengan erat, karena merupakan esensi dari penagakan hukum serta juga merupakan tolak ukur dari pada efektivitas penegakan hukum.[6] Pada tulisan lain, Soerjono Soekanto mengatakan bahwa agar hukum dapat berfungsi dengan baik diperlukan keserasian dalam hubungan antara empat faktor, yakni seagai berikut:
a. Hukum atau peraturan itu sendiri
Kemungkinannya adalah terjadi ketidak cocokan dalam peraturan perundang-undangan mengenai bidang kehidupan tertentu.
b. Mentalitas petugas menegakan hukum
Apabila peraturan perundang-undangan sudah baik, tetapi mental penegak hukum kuran baik, maka akan terjadi ganguan pada sistem penegak hukum.
c. Fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum.
Kalau peraturan perundang-unadangan sudah baik dan juga mentalitas penegaknya baik, akan tetapi fasilitas kurang memadai, maka penegakan hukum tidak akan berjalan dengan semastinya.
d. Kesadaran hukum, kepatuhan hukum dan perilaku warga masyarakat.
Keempat faktor tersebut diatas saling berkaitan dan merupakan inti dari sistem penegakan hukum. Apabila keempat faktor tersebut ditelaah dengan teliti, maka akan terugkap hal yang berpengaruh terhadap sistem penegak hukum.[7]
B. Pengertian Cybercrime
Perkembangan teknologi jaringan komputer global atau Internet telah menciptakan dunia baru yang dinamakan cyberspace, sebuah dunia komunikasi berbasis komputer yang menawarkan realitas yang baru, yaitu realitas virtual.Perkembangan teknologi komputer juga menghasilkan berbagai bentuk kejahatan komputer di lingkungan cyberspaceyang kemudian melahirkan istilah baru yang dikenal dengan cybercrime, Internet Fraud, dan lain-lain.[8] Sedangkan Volodymyr Golubev menyebutnya sebagai “the new form of antisocial behavior”.[9]
Cybercrime dapat didefinisikan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan menggunakan internet yang berbasis pada kecanggihan teknologi komputer dan telekomunikasi.[10]Andi Hamzah mengartikan cybercrime sebagai kejahatan di bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara ilegal.[11]
Kejahatan dunia maya atau cybercrime adalah istilah yang mengacu kepada aktivitas kajahatan dengan komputer atau jaringan komputer menjadi alat, sasaran atau tempat terjadinya kejahatan.[12]Walaupun kejahatan dunia maya atau cybercrime umumnya mengacu kepada aktivitas kejahatan dengan komputer atau jaringan komputer sebagai unsur utamanya, istilah ini juga digunakan untuk kegiatan kejahatan tradisional di mana komputer atau jaringan komputer digunakan untuk mempermudah atau memungkinkan kejahatan itu terjadi.
Terdapat tiga pendekatan untuk mempertahankan keamana di syberspace. Pertama adalah pendekatan teknologi. Kedua, pendekatan sosial, budaya dan etika. Ketiga, pendekatan hukum. Untuk mengatasi ganguan keamanan, prndekatan teknologisifatnya mutlak dilakukan, sebab tanpa suatu pengamanan jaringan akan mudah disusupi, diintersepsi, atau diakses secara ilegal dan tanpa hak.[13]
C. Jenis Cybercrime
Cybercrime dapat dilihat dari dua sudut pandang:
1. Kejahatan yang menggunakan teknologi informasi sebagai fasilitas. Seperti:pembajakan, pornografi, pemalsuan/pencurian kartu kredit, penipuan lewat email (fraud), email spam, perjudian online, pencurian account internet, terorisme, isu sara, situs yang menyesatkan, dan sebagainya.
2. Kejahatan yang menjadikan sistem teknologi informasi sebagai sasaran. Seperti:pencurian abstracts pribadi, pembuatan/penyebaran virus komputer, pembobolan/pembajakan situs, cyberwar, Denial of Service (DoS), kejahatan berhubungan dengan nama domain, dan sebagainya.[14]
D. Modus Operandi Cyber Crime
Kejahatan yang berhubungan erat dengan penggunaan teknologi yang berbasis komputer dan jaringan telekomunikasi ini dikelompokkan dalam beberapa bentuk sesuai modus operandi yang ada, antara lain:
1. Unauthorized Access
Merupakan kejahatan yang terjadi ketika seseorang memasuki atau menyusup kedalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin, atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukinya, seperti probing danport.
2. Illegal Contents
Merupakan kejahatan yang dilakukan dengan memasukkan data atau informasi ke internet tentang suatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau menggangu ketertiban umum, seperti: penyebaran pornografi.
3. Penyebaran virus secara sengaja
Penyebaran virus pada umumnya dilakukan dengan menggunakan email. Sering kali orang yang sistem emailnya terkena virus tidak menyadari hal ini. Virus ini kemudian dikirimkan ke tempat lain melalui emailnya. Menurut F-Secure, pada tahun 2007 terdapat sekitar 500.000 kode jahat lahir.[15]
4. Data Forgery
Kejahatan jenis ini dilakukan dengan tujuan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang ada di internet. Dokumen-dokumen ini biasanya dimiliki oleh institusi atau lembaga yang memiliki situs berbasis web database.
5. Cyber Espionage, Sabotage and Extortion
Cyber Espionage merupakan kejahatan yang memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer pihak sasaran.
Sabotage and Extortion merupakan jenis kejahatan yang dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet.
6. Cyberstalking
Kejahatan jenis ini dilakukan untuk mengganggu atau melecehkan seseorang denganmemanfaatkan komputer, misalnya menggunakan e-mail dan dilakukan berulang-ulang. Kejahatan ini menyerupai teror yang ditujukan kepada seseorang dengan memanfaatkan media internet. Hal itu bisa terjadi karena kemudahan dalam membuat email dengan alamat tertentutanpa harus menyertakan identitas diri yang sebenarnya.
7. Carding
Carding merupakan kejahatan yang dilakukan untuk mencuri nomor kartukredit milik orang lain dan digunakan dalam transaksi perdagangan di internet.
8. Hacking dan Cracker
Istilah hacker biasanya mengacu pada seseorang yang punya minat besar untuk mempelajari sistem komputer secara detail dan bagaimana meningkatkan kapabilitasnya. Adapun mereka yang sering melakukan aksi-aksiperusakan di internet lazimnya disebut cracker. Cracker adalah hacker yang yang memanfaatkan kemampuannya untuk hal-hal yang negatif. Aktivitas cracking di internet memiliki lingkup yang sangat luas, mulai dari pembajakan account milik orang lain,pembajakan situs web, probing, menyebarkan virus, hingga pelumpuhan target sasaran. Tindakan yang terakhir disebut sebagai DoS (Denial Of Service),merupakan serangan yang bertujuan melumpuhkan target (hang, crash) sehingga tidak dapat memberikan layanan.
9. Cybersquatting and Typosquatting
Cybersquatting merupakan kejahatan yang dilakukan dengan mendaftarkan domain nama perusahaan orang lain dan kemudian berusaha menjualnya kepada perusahaan tersebut dengan harga yang lebih mahal.
Typosquatting adalah kejahatan dengan membuat domain plesetan yaitu domain yang mirip dengan nama domain orang lain, yang merupakan nama domain saingan perusahaan.
10. Hijacking
Hijacking merupakan kejahatan melakukan pembajakan hasil karya orang lain yang paling sering terjadi adalahSoftware Piracy (pembajakan perangkat lunak).
11. Cyber Terorism
Suatu tindakan cybercrime termasuk cyber terorism jika mengancam pemerintah atau warganegara, termasuk cracking ke situs pemerintah atau militer.[16]
E. Penanganan Cybercrime di Indonesia
Meski Indonesia menduduki peringkat pertama dalam cybercrime pada tahun 2004, akan tetapi jumlah kasus yang diputus oleh pengadilan tidaklah banyak. Dalam hal ini angka dark number cukup besar dan data yang dihimpun oleh Polri juga bukan data yang berasal dari investigasi Polri, sebagian besar data tersebut berupa laporan dari para korban.Adabeberapasebabmengapapenanganan kasus cybercrimedi Indonesia tidak memuaskan:
1. Cybercrime merupakan kejahatan dengan dimensi high-tech, dan aparat penegak hukum belum sepenuhnya memahami apa itu cybercrime. Dengan kata lain kondisi sumber daya manusia khususnya aparat penegak hukum masih lemah.
2. Ketersediaan dana atau anggaran untuk pelatihan SDM sangat minim sehingga institusi penegak hukum kesulitan untuk mengirimkan mereka mengikuti pelatihan baik di dalam maupun luar negeri.
3. Ketiadaan Laboratorium Forensik Komputer di Indonesia menyebabkan waktu dan biaya besar. Pada kasus Dani Firmansyah yang menghack situs KPU, Polri harus membawa harddisk ke Australia untuk meneliti jenis kerusakan yang ditimbulkan oleh hacking tersebut.
4. Citra lembaga peradilan yang belum membaik, meski berbagai upaya telah dilakukan. Buruknya citra ini menyebabkan orang atau korban enggan untuk melaporkan kasusnya ke kepolisian.
5. Kesadaran hukum untuk melaporkan kasus ke kepolisian rendah. Hal ini dipicu oleh citra lembaga peradilan itu sendiri yang kurang baik, factor lain adalah korban tidak ingin kelemahan dalam sistem komputernya diketahui oleh umum, yang berarti akan mempengaruhi kinerja perusahaan dan web masternya.[17]
Upaya penanganan cybercrime membutuhkan keseriusan semua pihak mengingat teknologi informasi khususnya internet telah dijadikan sebagai sarana untuk membangun masyarakat yang berbudaya informasi.
F. Permasalahan Dalam Penyidikan Terhadap Cybercrime
Adapun hambatan-hambatan yang ditemukan di dalam proses penyidikan antara lain adalah sebagai berikut:
1. Perangkat Hukum yang Belum Memadai
Lemahnya peraturan perundang-undangan yang dapat diterapkan terhadap pelaku cybercrime, sedangkan penggunaan pasal-pasal yang terdapat di dalam KUHP seringkali masih cukup meragukan bagi penyidik. Oleh sebabitu perlu dibuat undang-undang yang khusus mengatur cybercrime.
2. Kemampuan Penyidik
Secara umum penyidik Polri masih sangat minim dalam penguasaan operasional komputer dan pemahaman terhadap hacking komputer serta kemampuan melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus kejahatan dunia maya. Beberapa faktor yang sangat berpengaruh (determinan) adalah:
a. Kurangnya pengetahuan tentang komputer.
b. Pengetahuan teknis dan pengalaman para penyidik dalam menangani kasus-kasus cybercrime masih terbatas.
c. Faktor sistem pembuktian yang menyulitkan para penyidik.
Dalam hal menangani kasus cybercrime diperlukan penyidik yang cukup berpengalaman (bukan penyidik pemula), pendidikannya diarahkan untuk menguasai teknis penyidikan dan menguasai administrasi penyidikan serta dasar-dasar pengetahuan di bidang komputer dan profil hacker.
3. Alat Bukti
Persoalan alat bukti yang dihadapi di dalam penyidikan terhadap Cybercrime antara lain berkaitan dengan karakteristik kejahatan cybercrime itu sendiri, yaitu:
a. Sasaran atau media cybercrimeadalah data dan atau sistem komputer atau sistem internet yang sifatnya mudah diubah, dihapus, atau disembunyikan oleh pelakunya. Oleh karena itu, data atau sistem komputer atau internet yang berhubungan dengan kejahatan tersebut harus direkam sebagai bukti dari kejahatan yang telah dilakukan. Permasalahan timbul berkaitan dengan kedudukan media alat rekaman (recorder) yang belum diakui KUHAP sebagai alat bukti yang sah.
b. Kedudukan saksi korban dalam cybercrimesangat penting disebabkan cybercrime seringkali dilakukan hampir-hampir tanpa saksi. Di sisi lain, saksi korban seringkali berada jauh di luar negeri sehingga menyulitkan penyidik melakukan pemeriksaan saksi dan pemberkasan hasil penyidikan.
4. Fasilitas Komputer Forensik
Untuk membuktikan jejak-jejak para hacker, cracker dan phreackerdalam melakukan aksinya terutama yang berhubungan dengan program-program dan data-data komputer, sarana Polri belum memadai karena belum ada komputer forensik. Fasilitas ini diperlukan untuk mengungkap data-data digital serta merekam dan menyimpan bukti-bukti berupa soft copy, seperti image, program, dan sebagainya. Dalam hal ini Polri masih belum mempunyai fasilitas forensic computing yang memadai. Fasilitas forensic computingyang akan didirikan Polri diharapkan akan dapat melayani tiga hal penting yaitu evidence collection, forensic analysis, expert witness.[18]
G. Upaya-Upaya Yang Dilakukan Oleh Pihak Kepolisian
Untuk meningkatkan penanganan kejahatan cyber yang semakin hari semakin berkembang seiring dengan kemajuan teknologi maka Polri melakukan beberapatindakan, yaitu:
a. Personil
Terbatasnya sumber daya manusia merupakan suatu masalah yang tidak dapat diabaikan, untuk itu Polri mengirimkan anggotanya untuk mengikuti berbagai macam kursus di negara–negara maju agar dapat diterapkan dan diaplikasikan di Indonesia, antara lain: CETS di Canada, Internet Investigator di Hongkong, Virtual Undercover di Washington, Computer Forensic di Jepang.
b. Sarana Prasarana
Perkembangan teknologi yang cepat juga tidak dapat dihindari, sehingga Polri berusaha semaksimal mungkin untuk meng up date dan up grade sarana dan prasarana yang dimiliki, antara lain Encase Versi 4, CETS, COFE, GSM Interceptor, GI 2.
c. Kerjasama dan Koordinasi
Melakukan kerjasama dalam melakukan penyidikan kasus kejahatan cyber karena sifatnya yang borderless dan tidak mengenal batas wilayah, sehingga kerjasama dan koordinasi dengan aparat penegak hukum negara lain merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan.
d. Sosialisasi dan Pelatihan
Memberikan sosialisasi mengenai kejahatan cyber dan cara penanganannya kepada satuan di kewilayahan (Polda) serta pelatihan dan ceramah kepada aparat penegak hukum lain (jaksa dan hakim) mengenai cybercrime agar memiliki kesamaan persepsi dan pengertian yang sama dalam melakukan penanganan terhadap kejahatan cyber terutama dalam pembuktian dan alat bukti yang digunakan.[19]
b. Sarana Prasarana
Perkembangan teknologi yang cepat juga tidak dapat dihindari, sehingga Polri berusaha semaksimal mungkin untuk meng up date dan up grade sarana dan prasarana yang dimiliki, antara lain Encase Versi 4, CETS, COFE, GSM Interceptor, GI 2.
c. Kerjasama dan Koordinasi
Melakukan kerjasama dalam melakukan penyidikan kasus kejahatan cyber karena sifatnya yang borderless dan tidak mengenal batas wilayah, sehingga kerjasama dan koordinasi dengan aparat penegak hukum negara lain merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan.
d. Sosialisasi dan Pelatihan
Memberikan sosialisasi mengenai kejahatan cyber dan cara penanganannya kepada satuan di kewilayahan (Polda) serta pelatihan dan ceramah kepada aparat penegak hukum lain (jaksa dan hakim) mengenai cybercrime agar memiliki kesamaan persepsi dan pengertian yang sama dalam melakukan penanganan terhadap kejahatan cyber terutama dalam pembuktian dan alat bukti yang digunakan.[19]
H. Penegakan Hukum Positif Di Indonesia
Menjawab tuntutan dan tantangan komunikasi global lewat Internet, Undang-Undang yang diharapkan (ius konstituendum) adalah perangkat hukum yang akomodatif terhadap perkembangan serta antisipatif terhadap permasalahan, termasuk dampak negatif penyalahgunaan Internet dengan berbagai motivasi yang dapat menimbulkan korban-korban seperti kerugian materi dan non materi. Saat ini, Indonesia belum memiliki Undang - Undang khusus atau cyber law yang mengatur mengenai cybercrime. Tetapi, terdapat beberapa hukum positif lain yang berlaku umum dan dapat dikenakan bagi para pelaku cybercrime terutama untuk kasus-kasus yang menggunakan komputer sebagai sarana, antara lain:
1. Kitab Undang Undang Hukum Pidana
Dalam upaya menangani kasus-kasus yang terjadi para penyidik melakukan analogi atau perumpamaan dan persamaaan terhadap pasal-pasal yang ada dalam KUHP. Pasal-pasal didalam KUHP biasanya digunakan lebih dari satu Pasal karena melibatkan beberapa perbuatan sekaligus pasal - pasal yang dapat dikenakan dalam KUHP pada cybercrime antara lain:
1. Pasal 362 KUHP yang dikenakan untuk kasus carding dimana pelaku mencuri nomor kartu kredit milik orang lain walaupun tidak secara fisik karena hanya nomor kartunya saja yang diambil dengan menggunakan software card generator di Internet untuk melakukan transaksi di e-commerce. Setelah dilakukan transaksi dan barang dikirimkan, kemudian penjual yang ingin mencairkan uangnya di bank ternyata ditolak karena pemilik kartu bukanlah orang yang melakukan transaksi.
2. Pasal 378 KUHP dapat dikenakan untuk penipuan dengan seolah olah menawarkan dan menjual suatu produk atau barang dengan memasang iklan di salah satu website sehingga orang tertarik untuk membelinya lalu mengirimkan uang kepada pemasang iklan. Tetapi, pada kenyataannya, barang tersebut tidak ada. Hal tersebut diketahui setelah uang dikirimkan dan barang yang dipesankan tidak datang sehingga pembeli tersebut menjadi tertipu.
3. Pasal 335 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pengancaman dan pemerasan yang dilakukan melalui e-mail yang dikirimkan oleh pelaku untuk memaksa korban melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pelaku dan jika tidak dilaksanakan akan membawa dampak yang membahayakan. Hal ini biasanya dilakukan karena pelaku biasanya mengetahui rahasia korban.
4. Pasal 311 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pencemaran nama baik dengan menggunakan media Internet. Modusnya adalah pelaku menyebarkan email kepada teman-teman korban tentang suatu cerita yang tidak benar atau mengirimkan email ke suatu mailing list sehingga banyak orang mengetahui cerita tersebut.
5. Pasal 303 KUHP dapat dikenakan untuk menjerat permainan judi yang dilakukan secara online di Internet dengan penyelenggara dari Indonesia.
6. Pasal 282 KUHP dapat dikenakan untuk penyebaran pornografi maupun website porno yang banyak beredar dan mudah diakses di Internet. Walaupun berbahasa Indonesia, sangat sulit sekali untuk menindak pelakunya karena mereka melakukan pendaftaran domain tersebut diluar negri dimana pornografi yang menampilkan orang dewasa bukan merupakan hal yang ilegal.
7. Pasal 282 dan 311 KUHP dapat dikenakan untuk kasus penyebaran foto atau film pribadi seseorang yang vulgar di Internet , misalnya kasus-kasus video porno para mahasiswa. Pasal 281 KUHP memberikan ancaman dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak lima ratus rupiah.[20]
8. Pasal 378 dan 262 KUHP dapat dikenakan pada kasus carding, karena pelaku melakukan penipuan seolah-olah ingin membeli suatu barang dan membayar dengan kartu kreditnya yang nomor kartu kreditnya merupakan curian.
9. Pasal 406 KUHP dapat dikenakan pada kasus deface atau hacking serta data interference (mengganggu data komputer) dan system interference (mengganggu sistem komputer), yang membuat sistem milik orang lain, seperti website atau program menjadi tidak berfungsi atau dapat digunakan sebagaimana mestinya.
10. Pasal 112, 113, 114, 115 dan 116 KUHPdapat dikenakan pada perbuatan membocorkan dan memata-matai data atau informasi yang berisi tentang rahasia negara.
2. Undang-Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Menurut Pasal 1 Undang - Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, program komputer adalah sekumpulan intruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema ataupun bentuk lain yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang intruksi-intruksi tersebut. Hak cipta untuk program komputer berlaku selama 50 tahun, sebagai mana yang terdapat dalam Pasal 30. Harga program komputer atau software yang sangat mahal bagi warga negara Indonesia merupakan peluang yang cukup menjanjikan bagi para pelaku bisnis guna menggandakan serta menjual software bajakan dengan harga yang sangat murah.
3. Undang-Undang No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
Menurut Pasal 1 Undang-Undang No 36 Tahun 1999, Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan/atau penerimaan dan setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya. Dari definisi tersebut, maka Internet dan segala fasilitas yang dimilikinya merupakan salah satu bentuk alat komunikasi karena dapat mengirimkan dan menerima setiap informasi dalam bentuk gambar, suara maupun film dengan sistem elektromagnetik. Penyalahgunaan Internet yang mengganggu ketertiban umum atau pribadi dapat dikenakan sanksi dengan menggunakan Undang- Undang ini:
1. Illegal access, perbuatan melakukan akses secara tidak sah terhadap sistem komputer ini belum diatur secara jelas di dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Untuk sementara waktu, Pasal 22 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dapat diterapkan.
Pasal 22 Undang-Undang Telekomunikasi menyatakan:
“Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi:
a. akses ke jaringan telekomunikasi; dan/atau
b. akses ke jasa telekomunikasi; dan/atau
c. akses ke jaringan telekomunikasi khusus.”
Pasal 50 Undang-Undang Telekomunikasi memberikan ancaman pidana terhadap barang siapa yang melanggar ketentuan Pasal 22 Undang-UndangTelekomunikasi dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
2. Illegal interception in the computers, systems and computer networks operation (intersepsi secara tidak sah terhadap operasional komputer, sistem, danjaringan komputer). Pasal 40 Undang-Undang Telekomunikasi dapat diterapkan terhadap jenis perbuatan intersepsi ini. Pasal 56 Undang-Undang Telekomunikasi memberikan ancaman pidana terhadap barang siapa yang melanggar ketentuan Pasal 40 tersebut dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
4. Undang-Undang No 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tanggal 24 Maret 1997 tentang Dokumen Perusahaan yang didalam ketentuan salah satu pasalnya mengatur mengenai di mungkinkannya penyimpanan dokumen perusahaan dalam bentuk elektronis (paperless) memberikan pengakuan bahwa dokumen perusahaan yang disimpan dimedia elektronik dapat dijadikan alat bukti yang sah.[21]Misalnya: Compact Disk Read Only Memory (CD ROM), dan Write Once Read Many (WORM), yang diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang tersebut sebagai alat bukti yang sah.
5. Undang-Undang No 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang yang paling ampuh bagi seorang penyidik untuk mendapatkan informasi mengenai tersangka yang melakukan penipuan melalui Internet, karena tidak memerlukan prosedur birokrasi yang panjang dan memakan waktu yang lama, sebab penipuan merupakan salah satu jenis tindak pidana yang termasuk dalam pencucian uang sebagai mana yang terdapat dalam pasal 2 ayat 1. Penyidik dapat meminta kepada bank yang menerima transfer untuk memberikan identitas dan data perbankan yang dimiliki oleh tersangka tanpa harus mengikuti peraturan sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan. Dalam Undang-Undang Perbankan identitas dan data perbankan merupakan bagian dari kerahasiaan bank sehingga apabila penyidik membutuhkan informasi dan data tersebut, prosedur yang harus dilakukan adalah pengirimkan surat dari Kapolda ke Kapolri untuk diteruskan ke Gubernur Bank Indonesia. Prosedur tersebut memakan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan data dan informasi yang diinginkan. Dalam Undang-Undang Pencucian Uang proses tersebut lebih cepat karena Kapolda cukup mengirimkan surat kepada Pemimpin Bank Indonesia di daerah tersebut dengan tembusan kepada Kapolri dan Gubernur Bank Indonesia, sehingga data dan informasi yang dibutuhkan lebih cepat didapat dan memudahkan proses penyelidikan terhadap pelaku, karena data yang diberikan oleh pihak bank, berbentuk: aplikasi pendaftaran, jumlah rekening masuk dan keluar serta kapan dan dimana dilakukan transaksi maka penyidik dapat menelusuri keberadaan pelaku berdasarkan data–data tersebut.
Undang-Undang ini juga mengatur mengenai alat bukti elektronik atau digital evidence sesuai dengan Pasal 38 yaitu alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
Undang-Undang ini juga mengatur mengenai alat bukti elektronik atau digital evidence sesuai dengan Pasal 38 yaitu alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
6. Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Selain Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, Undang-Undang ini mengatur mengenai alat bukti elektronik sesuai dengan Pasal 27 yaitu alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Digital evidence atau alat bukti elektronik sangatlah berperan dalam penyelidikan kasus terorisme, karena saat ini komunikasi antara para pelaku di lapangan dengan pimpinan atau aktor intelektualnya dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas di Internet untuk menerima perintah atau menyampaikan kondisi di lapangan karena para pelaku mengetahui pelacakan terhadap Internet lebih sulit dibandingkan pelacakan melalui handphone. Fasilitas yang sering digunakan adalah e-mail dan chat room selain mencari informasi dengan menggunakan search engine serta melakukan propaganda melalui bulletin board atau mailing list.
7. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet dan Transaksi Elektronik
Undang-undang ini, yang telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 21 April 2008, walaupun sampai dengan hari ini belum ada sebuah PP yang mengatur mengenai teknis pelaksanaannya, namun diharapkan dapat menjadi sebuah undang-undang cyber atau cyberlaw guna menjerat pelaku-pelaku cybercrime yang tidak bertanggungjawab dan menjadi sebuah payung hukum bagi masyarakat pengguna teknologi informasi guna mencapai sebuah kepastian hukum.[22]
BAB III
KESIMPULAN
Penagakan hukum cybercrime adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah atau pandangan-pandangan nilai yang mantap terhadap kejahatan dunia maya, yakniperbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan menggunakan internet yang berbasis pada kecanggihan teknologi komputer dan telekomunikasi. Terdapat lima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu:faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana dsan fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat, faktor kebudayaan.
Cybercrime dapat dilihat dari dua sudut pandang: Pertama, kejahatan yang menggunakan teknologi informasi sebagai fasilitas. Kedua, Kejahatan yang menjadikan sistem teknologi informasi sebagai sasaran. Selain itu terdapat modus operandi dalam kejahatan dunia maya, seperti: unauthorized access, illegal contents, penyebaran virus secara sengaja, data forgery, cyber espionage, sabotage and extortion, cyberstalking, carding, hacking dan cracker, cybersquatting and typosquatting, hijacking, cyber terorism.
Adapun hambatan-hambatan yang ditemukan di dalam proses penyidikan antara lain adalah sebagai berikut:perangkat hukum yang belum memadai, kemampuan penyidik, alat bukti, fasilitas komputer forensik. Saat ini, Indonesia belum memiliki Undang-Undang khusus atau cyber law yang mengatur mengenai cybercrime. Tetapi, terdapat beberapa hukum positif yang berlaku umum dan dapat dikenakan bagi para pelaku cybercrime, antara lain:Kitab Undang Undang Hukum Pidana, Undang-Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Undang-Undang No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang No 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, Undang-Undang No 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet dan Transaksi Elektronik.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi. 2007.Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penaggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana.
Juju, Dominikus.2008. Tekhnik Menagkal Kejahatan Internet. Jakarta: Elek Media Komputindo.
HR, Ridwan.2006. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers.
Manan, Abdul. 2006. Aspek-Aspek Pengubah Hukum. Jakarta: Kencana.
Moeljatno. 2009. KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara.
M. Ramli,Ahmad. 2006. Cyber Law Dan HAKI. Bandung: Refika Aditama.
Riswandi, Budi Agus. 2003. Hukum Dan Internet Di Indonesia. Yogyakarta: UII Press.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kejahatan_dunia_maya 06012011 15:09
http://newskripsi.blogspot.com/2010/07/cyber-crime.html 07012011 08:30
http://www.scribd.com/doc/32622266/Cybercrime-kelompok-7 06012011 21:06
http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=CYBERCRIME%20DAN%20PENEGAKAN%20HUKUM%20POSITIF%20DI%20INDONESIA&&nomorurut_artikel=354 06012011 12:47
http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=PROSEDUR%20PENYIDIKAN%20TERHADAP%20TINDAK%20PIDANA%20CYBERCRIME&&nomorurut_artikel=361 06012011 12:56
[4]Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 2.
[5]Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), hlm. 306-307.
[6]Ibid., hlm. 307-308.
[7]Ibid., hlm. 308-309.
[8]Lihat http://azamul.files.wordpress.com/2007/06/thesis-cybercrime-di-indonesia.pdf 06012011 20:29
[9]Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penaggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 237.
[10]http://www.scribd.com/doc/32622266/Cybercrime-kelompok-7 06012011 21:06
[13]Ahmad M. Ramli, Cyber Law Dan HAKI, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 3-4.
[14]http://newskripsi.blogspot.com/2010/07/cyber-crime.html 07012011 08:30
[15]Dominikus Juju, Tekhnik Menagkal Kejahatan Internet, (Jakarta: Elek Media Komputindo, 2008), hlm. 43.
[16]http://www.scribd.com/doc/32622266/Cybercrime-kelompok-7 06012011 21:06
[20]Moeljatno, KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm. 102.
[21]Budi Agus Riswandi, Hukum Dan Internet Di Indonesia, (yogyakarta: UII Pres, 2003), hlm. 66-67.
0 komentar:
Posting Komentar