A. Pengertian Ijma’
Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap sesuatu. disebutkan أجمع فلان على الأمر berarti berupaya di atasnya. Sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya “Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu. (Q.S.Yunus: 71)
Pengertian kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan arti yang pertama dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua lebih dari satu orang. Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul SAW atas hukum syara'.
B. Syarat-Syarat Ijma’
Dari definisi ijma’ di atas dapat diketahui bahwa ijma’ itu bisa terjadi bila memenuhi kriteria-kriteria di bawah ini:
1. Yang bersepakat adalah para mujtahid
Para ulama’ berselisih faham tentang istilah mujtahid. Secara umum mujtahid diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam mengistimbatkan hukum dari dalil-dalil syara’. Dalam kitab “jam’ul jawami” disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang yang fakih.
Beberapa pendapat tersebut sebenarnya mempunyai kesamaan, bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dsan mempu mengistimbat hukum dari sumbernya.
Dengan demikian, kesepakatan orang awam (bodoh) atau mereka yang belum mencapai derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma’ begitu pula penolakan mereka, karena mereka tidak ahli dalam menela’ah hukum-hukum syara’.
2. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
Bila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak meskipun sedikit, maka menurut jumhur, hal itu tidak bisa dikatakan ijma’. Karena ijma’ itu harus mencakup keseluruhan mujtahid. Sebagaimana ulama berpandangan bahwa ijma’ itu sah bila dilakukan oleh sebagian besar mujtahid, karena yang dimaksud kesepakatan ijma’ termasuk pula kesepakatan sebagian besar dari mereka. Begitu pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu telah mencakup hukum keseluruhan.
3. Para mujtahid harus umat Muhammad SAW
Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW tidak bisa dikatakan ijma’, karena hal itu dapat menunjukkan adanya umat para nabi lain yang berijma’. Adapun ijma’ umat Nabi Muhammad SAW tersebut telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin berijma’ untuk melakukan kesalahan.
4. Dilakukan setelah wafatnya Nabi Muhamad SAW
Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi Muhammad SAWmasih hidup, karena Nabi Muhammad SAW senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik dan itu dianggap sebagai syariah.
5. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan Syariat
Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syariat, seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram dan lain-lain.
C. Macam-Macam Ijma’
Ijma’ ditinjau dari cara penetapannya ada dua:
1. Ijma’ Sharih
Yaitu para mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terhadap suatu kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing mujtahid mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yang mencerminkan pendapatnya.
2. Ijma’ Sukuti
Sebagian mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum. Dan sebagian yang lain diam, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidaknya terhadap pendapat yang telah dikemukakan.
D. Kemungkinan Terjadi Ijma’
Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan adanya ijma’ dan kewajiban melaksanakannya. Jumhur berkata, “ijma’ itu bisa terjadi bahkan telah terlaksana”. Sedangkan pengikut Nizam dan golongan Syi’ah menyatakan ijma’ itu tidak mungkin terjadi, dengan mengemukakan beberapa argumen, antara lain:
Pertama, sesungguhnya ijma’ yang dimaksudkan oleh jumhur terntang diharuskannya adanya kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa sehingga harus memenuhi dua kriteria:
1. Mengetahui karakter setiap mujtahid yang dikategorikan mampu untuk mengadakan ijma’.
2. Mengetahui pendapat masing-masing mujtahid tentang permasalahan tersebut.
Kedua, ijma’ itu harus bersandarkan kepada dalil, baik yang qath’i ataupun yang dhanni. Bila berlandaskan pada dalil qath’i maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu tidak membutuhkan ijma’. Sebaliknya bila didasarkan pada dalil yang dhanni, dapat dipastikan para ulama’ akan berbeda pendapat karena masing-masing mujtahid akan mengeluarkan pendapatnya dengan kemampuan berfikir daya nalar mereka, disertai berbagai dalil yagn menguatkan pendapat mereka.
E. Syarat Mujtahid
Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:
1. Memiliki pengetahuan sebagai berikut: tentang Al-Qur’an, Sunnah dan juga tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
2. Memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
3. Seorang mujtahid harus menguasai ilmu bahasa.
Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al-Syariah.
0 komentar:
Posting Komentar